![]() |
| Ilustrasi. Arsitektur. (Foto: Dok. Kanchanachitkhamma/Canva) |
BANDUNGTERKINI.ID — Dunia arsitektur sedang memasuki fase transformasi besar-besaran. Di tengah era digital yang serba cepat, keahlian menggambar dan mendesain saja tak lagi cukup untuk menjawab tantangan profesi ini.
Arsitek muda dituntut adaptif, profesional, dan memiliki bukti legal praktik berupa Surat Tanda Registrasi Arsitek (STRA).
Seiring pembangunan kota yang masif, pertumbuhan kawasan industri, serta meningkatnya kesadaran terhadap ruang berkelanjutan, peluang untuk arsitek muda terbuka sangat luas.
Namun, di sisi lain, persaingan pun semakin sengit. Sertifikasi profesional pun menjadi pintu gerbang untuk bisa bersaing secara sah di ranah proyek berskala besar.
Teknologi ubah wajah profesi arsitek
Perkembangan teknologi digital telah mengubah secara drastis cara kerja arsitek. Aplikasi seperti AutoCAD, Revit, hingga sistem Building Information Modeling (BIM) kini menjadi standar wajib dalam proses desain. Kolaborasi jarak jauh lintas kota bahkan lintas negara sudah menjadi hal biasa.
Kini, seorang arsitek di Surabaya bisa ikut merancang proyek gedung pencakar langit di Dubai, tanpa harus berpindah domisili. Namun, kemudahan ini juga dibarengi dengan persyaratan baru yang lebih ketat.
Ijazah sarjana tak lagi cukup. Lulusan arsitektur harus menempuh pendidikan profesi, memahami kode etik, dan mengikuti uji kompetensi demi mendapat pengakuan sebagai arsitek profesional.
“Bisa juga mengikuti penataran kode etik dan pengembangan keprofesian berkelanjutan sehingga kemudian diperkenankan mengikuti uji kompetensi hingga pada akhirnya memiliki bukti tertulis untuk melakukan praktik arsitek dan bertanggung jawab pada pekerjaan arsitektur yang dirancang," ungkap Ulinata, ST.Ars, M.T, Dosen Arsitektur UKI.
STRA = Sertifikat wajib untuk karier arsitek
Sertifikat paling krusial yang wajib dimiliki adalah Surat Tanda Registrasi Arsitek (STRA). Diterbitkan oleh Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), dokumen ini bukan sekadar formalitas. STRA menjadi bukti legal yang mengafirmasi kompetensi dan tanggung jawab seorang arsitek.
Tanpa STRA, sangat sulit bagi arsitek muda untuk menembus proyek-proyek besar, khususnya proyek pemerintah dan korporasi nasional.
“Dalam dunia profesional, seorang arsitek yang tidak memiliki sertifikat kerja akan kesulitan bersaing di dunia kerja,” tegas Ulinata.
Selain menjadi syarat administratif, STRA juga memperkuat posisi tawar arsitek di mata klien dan institusi. Ini bukan hanya soal legalitas, tapi juga reputasi dan profesionalisme.
Kampus dan lembaga pendidikan wajib bertransformasi
Transformasi digital dan isu keberlanjutan juga mendorong institusi pendidikan untuk berbenah. Banyak kampus arsitektur kini mulai mengintegrasikan materi teknologi cerdas, green building, dan aspek sosial ke dalam kurikulum mereka.
Contohnya adalah Kunkun Academy atau id Kunkun, sebuah lembaga pendidikan yang menerapkan metode pembelajaran berbasis proyek nyata. Mahasiswa tidak hanya belajar teori di kelas, tetapi juga langsung terlibat dalam proyek arsitektur sejak dini.
Kurikulum disesuaikan dengan tantangan nyata, mulai dari urbanisasi ekstrem hingga krisis iklim global. Harapannya, lulusan tidak hanya ahli desain, tetapi juga visioner yang siap membawa perubahan. Info selengkapnya dapat di cek pada website resmi www.kunkunacademy.com.
Etika, portofolio, dan kompetensi jadi syarat utama
Memasuki dunia kerja, arsitek muda dihadapkan pada tuntutan yang semakin kompleks. Portofolio bukan lagi sekadar kumpulan gambar estetik, tetapi harus menunjukkan solusi yang berdampak secara sosial dan ekologis.
Etika profesi pun menjadi aspek yang tak bisa ditawar. Ketika proyek-proyek besar menuntut transparansi dan tanggung jawab sosial, arsitek dituntut lebih sadar batasan profesional dan hukum.
Tak hanya itu, penguasaan software desain terbaru, manajemen proyek, hingga pemahaman tentang konsep bangunan ramah lingkungan menjadi skill dasar yang harus dimiliki.
Untungnya, banyak komunitas profesional yang membuka akses pembelajaran tambahan seperti pelatihan daring, workshop, dan webinar. Semua ini bisa dimanfaatkan arsitek muda untuk meningkatkan kualitas dan daya saing mereka.
STRA jadi “senjata rahasia” tembus proyek nasional
Di tengah kompetisi pasar yang makin tajam, STRA menjadi semacam senjata rahasia bagi arsitek muda. STRA bukan hanya bukti legalitas, tetapi juga indikator integritas dan kredibilitas.
Dengan STRA di tangan, arsitek bisa lebih percaya diri melamar proyek skala besar, termasuk proyek BUMN, tender pemerintah, bahkan kerjasama multinasional.
“Untuk meningkatkan mutu karyanya, seorang arsitek perlu meningkatkan penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pengembangan keprofesian berkelanjutan sehingga dapat bersaing secara kompetitif dengan arsitek lainnya,” jelas Ulinata.
Arsitek Muda: Visioner masa depan kota dan lingkungan
Hari ini, profesi arsitek bukan lagi dipandang sebagai tukang gambar atau pembuat desain indah. Mereka adalah agen perubahan yang bertanggung jawab atas wajah kota, masa depan komunitas, dan keberlanjutan lingkungan.
Arsitek muda yang siap beradaptasi, punya portofolio berdampak, menjunjung tinggi etika profesi, serta mengantongi STRA akan memiliki karier yang menjanjikan—baik di dalam maupun luar negeri.
Peluang sebagai konsultan, pengajar, inovator desain, hingga perancang kota masa depan terbuka lebar bagi mereka yang siap bertumbuh dan terus belajar.

